PENALITIAN LEMBAGA PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI

Posted by Unknown on Rabu, 27 Januari 2010

A. Latar Belakang
Dalam negara hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum merupakan hal-hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan prikehidupan yang aman, tentram dan tertib
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan dengan baik.
Salah satu lembaga untuk menegakkan hukum demi mencapai keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum adalah Badan-Badan Peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam UU. Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 10 ayat (1) UU. Nomor 14 tahun 1970 menyatakan : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan 1). Peradilan Umum ; 2). Peradilan Agama ; 3). Peradilan Militer ; dan 4). Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Agama di Indonesia (yang di negara Islam lain disebut “Mahkamah Syar’iyyah”) adalah merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu, dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh yang berdasarkan hukum Islam (Pasal 3 dan 49 UU. Nomor 7 Tahun 1989.
Secara teknis Pengadilan dibawah pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dan secara organisasi administrasi dibawah pengawasan Departemen Agama Republik Indonesia.
Badan Peradilan Agama disamping pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang bertugas menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 45, Pengadilan Agama juga diserahi tugas dan kewenangan berdasarkan Undang-undang Pengadilan Agama, hal ini sesuai dengan pasal 49 dan pasal 52 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989. Berpijak pada landasan hukum diatas, Pengadilan Agama dituntut dapat mengayomi serta memberikan penyelesaian hukum yang adil ditengah masyarakat tanpa membedakan ras serta golongan.
Sebagai upaya menciptakan kinerja yang baik bagi petugas teknis pengadilan, selain menjalankan tata laksana sesuai dengan pola sistem Bindalmin (Pembinaan dan Pengendalian Administrasi), Pengadilan tentu juga akan memperhatikan tenaga teknis yang menjadi mobilitas pelaksanaan sistem tersebut, baik dari segi sumber daya maupun sarana prasarana penunjang yang lain.
Disisi lain, masyarakat yang mencari keadilan di Pengadilan Agama semestinya mereka telah memahami beberapa ketentuan yang berlaku serta tata laksana dalam pengajuan perkara. Sehingga akan muncul hubungan yang ideal antara masyarakat pencari keadilan yang menginginkan perkaranya segera selesai dengan para petugas Pengadilan dalam memproses perkara secara benar.
B. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Kabupaten Kediri
Pengadilan Agama Kabupaten Kediriyang terletak di jl. Raya Tiron km 06 Desa Tiron Kec. Nglames Kabupaten. Kediriberdiri diatas tanah seluas 1.539 M2 dengan gedung permanen ukuran 250 M2 dengan status hak milik nomor 187/PELITA IV/II/87. Gedung Pengadilan Agama Kabupaten Kediridiresmikan penggunaannya pada hari Kamis Kliwon tanggal 3 Jumadil Awal 1408 H yang bertepatan dengan tanggal 24 Desember 1987 M oleh Bupati Kepala Daerah Tk. II Kediri, Bapak Drs. Bambang Koesbardono.
Pengadilan Agama Kabupaten Kediriyang letak geografisnya sebelah utara kota Kediriini, merupakan pengembangan kota dibidang lembaga pelayanan hukum yang pada awalnya tersentral di Pengadilan Agama Kotamadya Kediri, pengembangan ini disebabkan menumpuknya perkara yang masuk pada Pengadilan Agama Kotamadya, hal ini sebagai upaya memudahkan penyelesaian perkara, selain itu pemisahan ini juga dimaksudkan agar ada identifikasi jelas tentang kelas atau tipe serta pemisahan administratif antara Kodya dengan Kabupaten.
Pengadilan Agama Kabupaten Kediridalam kurun waktu 15 tahun telah mengalami pergantian kepemimpinan 4 periode. Pada tahun pertama, Pengadilan Agama Kabupaten Kediridipimpin oleh Drs. Abdul Malik (1987-1990) yang pada saat itu hanya memiliki seorang hakim tetap, tiada lain adalah sang ketua sendiri. Sementara dalam menjalankan proses persidangan dibantu oleh tiga orang hakim honorer, mereka adalah : KH. Khudlori, KH. Haromain, dan Ibu Shafurah. Pada tahun 1990 Pengadilan Agama Kabupaten Kedirimendapat tambahan dua hakim tetap, yaitu Bpk. Miswan, SH., dan Bpk. Drs. Misbahul Munir.
Pada periode kedua tongkat kepemimpinan dibawah kendali Bpk. Drs. Muhtar, RM., SH. (1990-1996). Pada periode ini, pola Bindalmin sudah dapat dijalankan dengan baik. Selanjutnya pada periode ketiga, Pengadilan Agama Kabupaten Kediridipimpin oleh Drs. H. Ali Ridlo SH (1996-2001) setelah itu kepemimpinan diambil alih oleh Bpk. Drs. Ghufron Sulaiman (2001-sekarang).
C. Tahap-Tahap Perkembangan
Secara umum, fungsi kewenangan mengadili di lingkungan Pengadilan Agama telah ditentukan dalam pasal 49 ayat 1 yang meliputi perkara-perkara dibidang perdata diantaranya perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shodaqoh dan wakaf. Batasan-batasan kewenangan daiatas disebut juga kompetensi absolut yang berarti merupakan apa yang telah ditetapkan menjadi porsi setiap lingkungan peradilan secara mutlak menjadi kewenangannya untuk menerima dan memutus perkara.
Dari beberapa kasus di bidang perdata yang menjadi kewengan Pengadilan Agama Kabupaten Kediri yang paling banyak terjadi adalah dibidang perkawinan, baik mengenai cerai talak, cerai gugat yang didalamnya mencakup gugatan nafkah, pembagian harta gono-gini, dispensasi nikah dan lain-lain. Hal ini bukan berarti perkara-perkara lain diluar bidang perkawinan tidak ada, hanya jumlah perkaranya relatif kecil dibanding perkara perkawinan.
Dari perkara perkawinan yang masuk di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, perkara yang terbanyak adalah cerai gugat hal ini disebabkan oleh faktor moral, seperti suami meningggalkan isteri dalam jangka waktu yang relatif lama, hal itu berarti suami telah meninggalkan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang berkewajiban memberikan nafkah lahir maupun batin kepada isterinya.
Adapun yang menjadi penyebab diajukankannya cerai talak diantaranya adalah isteri meninggalkan suami dengan dalil menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) keluar negeri dalam jangka waktuyang relatif lama. Keadaan demikian ini kemudian menjadi benih percekcokkan yang menjurus kearah perceraian.
D. Hambatan-Hambatan
Di dalam pelaksanaan teknis peradilan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Kediri telah mengacu pada Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : KMA. 001 / SK / I /1991 tentang pola pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan Pengadilan (BINDALMIN) yaitu melalui meja I, meja II dan meja III. Dalam kelompok kerja pada meja I, meja II dan meja III terlihat beberapa prosedur telah dilakukan sesuai dengan aturan main yang berlaku, hal ini tiada lain merupakan usaha Pengadilan Agama Kabupaten Kediriuntuk terus berbenah dalam rangka melayani masyarakat sesuai dengan konsep dasar pengadilan. Salah satu contoh bahwa Pengadilan Agama Kabupaten Kediridalam tata laksana kerja telah sesuai dengan pola sistem Bindalmin terlihat pada meja I. Diantara bagian meja I terdapat kasir yang bertugas menerima, menaksir dan membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana yang tercantum dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar). Didalam membukukan uang panjar biaya perkara kedalam buku jurnal masing-masing perkara disesuaikan dengan berbagai macam jurnal, yaitu :
a. KI. PA. 1/P : untuk perkara permohonan
b. KI. PA. 1/G : untuk perkara gugatan
c. KI. PA. 2 : untuk perkara Banding
d. KI. PA. 3 : untuk perkara Kasasi
e. KI. PA. 4 : untuk perkara Peninjauan Kembali
f. KI. PA. 5 : untuk Permohonan Eksekusi
Kasir juga mengeluarkan dari panjar biaya perkara tersebut yang merupakan hak-hak kepaniteraan, besar jumlahnya adalah menurut ketentuan yang berlaku. Kasir sebulan sekali menyerahkan penerimaan hak-hak Kepaniteraan kepada Bendahara penerima untuk disetorkan ke kas negara, pemasukan dan pengeluaran uang setiap harinya harus dilaporakn kepada Panitera untuk dicatat dalam buku induk keuangan yang bersangkutan yaitu :
a. K.I – PA.6 : Buku Induk Keuangan Perkara
b. K.I – PA.7 : Buku Induk Keuangan biaya Eksekusi
c. K.I – PA. 8 : Buku Penerimaan Uang Hak-Hak Kepaniteraan
Secara umum tugas dari meja II sudah sesuai dengan teori yang mana pendaftaran perkara dalam buku register dilakukan dengan tertib sesuai dengan pencatatan dalam buku jurnal keuangan masing-masing data perkara dalam tingkat pertama, banding, kasasi, peninjauan kembali serta eksekusi dimasukkkan dalam register induk perkara sesuai dengan jenis perkara. Register banding, kasasi, peninjauan kembali dan eksekusi masing-masing hanya menurut data-data khusus sesuai dengan keadaan perkara banding, kasasi, peninjauan kembali serta eksekusi. Hanya saja kendala yang timbul yakni ketidaktepatan waktu penyerahan instrumen dari Panitera Pengganti dan Juru Sita Pengganti kepada petugas tersebut sehingga mengakibatkan pencatatan dalam buku register menjadi kurang sempurna.
E. Kondisi Sekarang
Pengadilan Agama sebagai tempat untuk mencari keadilan dan kepastian hukum suatu perkara yang diajukan oleh masyarakat (penggugat/pemohon), berkewajiban membuka diri terhadap perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sesuai dengan pasal 7 UUPA nomor 14 tahun 1970 yang yang berisi tugas pokok hakim yaitu menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan.
Setiap perkara yang terjadi dalam masyarakat hendaknya diselesaikan di muka pengadilan. Masyarakat hendaknya didorong untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan, hal ini untuk menanggulangi adanya suatu tindakan yang main hakim sendiri.
Dalam praktek peradilan Agama khususnya di Pengadilan Agama Kabupaten Kedirimasyarakat yang berkepentingan / berperkara langsung menghadap ke pengadilan agama untuk mengajukan kepentingan/perkaranya. Setelah adanya UUPA nomor 7 tahun1989, masyarakat yang berkepentingan/berperkara tidak perlu membawa surat pengantar (legalisasi) dari Lurah/Kepala Desa ataupun BP 4 / KUA Kecamatan.
Dalam hal pengajuan gugatan/permohonan kepada pengadilan Agama, penggugat/pemohon pada prinsipnya harus membuat surat gugatan sendiri atau dibuatkan oleh kuasa hukumnya. Namun praktek yang ada di Pengadialan Agama Kabupaten para penggugat/pemohon sendiri. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan mereka dalam membuat surat tersebut karena minimnya pengetahuan mereka tentang proses hukum, pendidikan rendah atau sebab lain. Realitas ini berdampak pada proses semestinya yang kemudian oleh pihak pengadilan diambil langkah antisipatif responsif untuk membuatkan surat gugatan yakni menunjuk jasa pembuat surat gugatan yang dalam hal ini diwakili oleh petugas Meja I baik itu Panitera Muda Permohonan maupun Panitera Muda Gugatan.
Sebagaimana dalam paparan Bab III bahwa relaas panggilan untuk pihak pengggugat/pemohon ditandatangani langsung setelah administrasi-administrasi awal diselesaikan. Hal ini bukan karena Pengadilan Agama tidak mau menjalankan prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang-undang melainkan mengacu kepada azas Peradilan Agama yaitu Cepat, Mudah dan Biaya Ringan. Pengadilan Agama mempermudah proses pemanggilan dengan memanggil langsung kepada pemohon / penggugat kebijakan seperti ini diambil karena staf-staf yang ada di badan peradilan Agama hanya beberapa orang saja dan tidak sebanding dengan perkara masuk.
Dalam proses persidangan, pertanyaan hakim lebih banyak terfokus pada hal-hal yang dapat dijadikan parameter kebenaran dalil gugatan / permohonan. Hal tersebut dilakukan untuk mencari titik temu permasalahan yang dapat disimpulkan menjadi keputusan nantinya. Sebab ketika hakim memutuskan suatu perkara, hakim harus melandaskan keputusannya pada kebenaran fakta dan bukti serta rujukan undang-undang yang berlaku.
Setelah hakim mengabulkan tuntutan pemohon / penggugat dan perkara dinyatakn putus, penggugat / pemohon diminta datang ke kasir untuk mengkonfirmasi ulang uang panjar biaya perkara yang telah dibayarkan sebelumnya dan diberi tahu kapan ia mendapatkan surat putusan pengadilan sekaligus berkas-berkas lain yang berkaitan.
F. Analisa
Setelah mengikuti secara langsung proses peradilan di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, mulai dari penerimaan perkara sampai pada proses hakim memutuskan perkara serta menelaah beberapa temuan dan dokumen-dokumen kesekretariatan yang menjadi bahan analisa, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Dalam tahun 2003, Pengadilan Agama Kabupaten Kedirimenerima sebanyak 651 perkara, sedangkan perkara yang diselesaikan sebanyak 736, sisa perkara pada tahun 2002 sebanyak 134 perkara. Sedangkan penyelesaian perkara, rata-rata tidak lebih dari enam bulan.
2. Administrasi perkara di Pengadilan Agama Kabupaten Kediritelah dilaksanakan sesuai dengan KMA Nomor : KMA/001/SK/I/1991, jika kita lihat ada yang sedikit berbeda, pada dasarnya semua itu dilakukan supaya efisisien.
3. Pengelolaan dan realisasi anggaran rutin, pengelolaan administrasi kepegawaian, surat menyurat dan inventaris telah dilaksanakan menurut ketentuan yang ada.








































PENALITIAN LEMBAGA PENGADILAN AGAMA
KABUPATEN KEDIRI
Untuk Memenuhi Ujian Uts Dalam Bidang Studi Metode Penelitian








Disusun Oleh :
Hikmatul Umam

NIM: 07.3394


Dosen:
Drs. HM. Muchsin Ks, M.Ag


FAKULTAS SYARI'AH
JURUSAN AHWAL AL-SYAHSIYYAH
INSTITUT KEISLAMAN HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG – JOMBANG
2009
More aboutPENALITIAN LEMBAGA PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI

TEKNIK PEMBUATAN UNDANG-UNDANG

Posted by Unknown

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam negara hukum, undang-undang merupakan perangkat normatif yang merepresentasikan jiwa dan nilai-nilai sosial dan hukum dalam masyarakat. Undang-undang adalah perangkat hukum yang mengatur pelaksanaan kegiatan-kegiatan kenegaraan, mengatur sinergitas antar lembaga-lembaga negara, filter dalam dinamika politik, mengatur dinamika kemasyarakatan, sekaligus sebagai sistem nilai yang harus dijiwai dan diimplementasikan oleh setiap warga negara.
Sistem hukum positif menempatkan undang-undang sebagai instrumen utama penegakan hukum. Dalam konteks ini, kodifikasi nilai-nilai moral, budaya, sosial, dan hukum adat menjadi keniscayaan dalam upaya penataan kehidupan masyarakat. Sebagai diketahui, dalam sistem hukum positif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tidak memiliki kekuatan mengikat dan memaksa tanpa dikodifikasi dalam perundang-undangan. Nilai-nilai di masyarakat hanyalah quasi dari hukum dan sekedar menjadi pelengkap peraturan informal yang mandul.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum positif berusaha mengatur dinamika kenegaraan dengan membentuk undang-undang sesuai dengan peruntukannya. Pada tahun 2007, tidak kurang dari seratus buah undang-undang telah ditetapkan pemberlakuannya. Dari jumlah tersebut, kita menangkap suatu kesan bahwa negara Indonesia adalah negara perundangan terlepas dari predikatnya sebagai negara hukum. Sebagai catatan, Indonesia adalah salah satu negara dengan produk undang-undang terbanyak di dunia.
Fakta yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan perundang-undangan terbanyak ternyata di satu sisi menyisakan satu fakta yang paradoksal. Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan pelanggaran undang-undang terbanyak di dunia. Ironis memang, akan tetapi inilah yang terjadi. Undang-undang ternyata tidak lagi menjadi instrumen untuk mengatur kehidupan bermasayarakat maupun dinamika kenegaraan. Undang-undang, sejauh realita membuktikan, hanyalah formalitas belaka. Undang-undang tidak lebih dari produk politik yang di dalamnya bermuara kepentingan-kepentingan segeltintir orang.
Fakta ini tentunya membuat sebagian pihak bertanya. Mengapa undang-undang yang telah ditetapkan begitu mudahnya dilanggar?. Mengapa undang-undang terkesan sebagai formalitas belaka?. Dengan tidak mengabaikan aspek budaya hukum dan perangkat hukum, penulis mencoba meretas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari perspektif teknis pembuatan undang-undang.
Ada beberapa alasan mengapa penulis memakai perspektif tersebut. Pertama, selama ini ada kesan ‘ketidakbecusan’ dalam pembuatan undang-undang oleh lembaga yang memiliki wewenang akan hal tersebut. Ketidakbecusan tersebut ditunjukkan dengan tidak profesionalnya lembaga dalam membuat undang-undang, seperti proses sosialisasi yang kurang, tidak semua anggota lembaga ikut berembuk dalam penggodokan materi undang-undang, serta banyaknya unsur-unsur politik yang mengintervensi pembuatan undang-undang. Kedua, pembuatan undang-undang merupakan serangkaian proses yang sangat menentukan efektifitas dan kemanfaatan suatu undang-undang di masyarakat maupun dalam tata hukum nasional. Pembentukan undang-undang sebagai sebuah rangkaian padu sangat menentukan mutu suatu undang-undang, sehingga berpengaruh langsung pada aplikasinya di masyarakat. Ketiga, pemahaman mengenai cara pembuatan undang-undang masih cukup minim, sehingga sering terjadi miskonsepsi mengenai suatu undang-undang sebagai entitas yang legitimatif.

B. Rumusan Masalah
Berdasar uraian yang telah diutarakan pada latar belakang, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang representatif sebagai berikut:
1. Lembaga apakah yang berwenang dalam pembuatan undang-undang?;
2. Bagaimanakah tahap-tahap pembuatan undang-undang?.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui lembaga yang berwenang dalam pembuatan undang-undang;
2. Mengetahui dan memahami tahap pembuatan undang-undang.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah:
1. Manfaat teoretis
Pembahasan dalam makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam debat-debat ilmiah yang mengkaji pembuatan undang-undang. Selain itu, pembahasan makalah ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam perkuliahan-perkuliahan Legal Drafting.
2. Manfaat praktis
a. Uraian materi dalam makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi oleh penulis lain untuk menulis makalah dengan ranah pembahasan yang sama.
b. Makalah ini dapat dijadikan sebagai objek kajian oleh akademisi atau praktisi dalam elaborasi pembuatan undang-undang.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lembaga yang Berwenang dalam Pembuatan Undang-Undang
Peraturan tentang pembuatan undang-undang di Indonesia termaktub dalam UU No. 10 tahun 2004. Dalam pasal 17 disebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Pasal ini menegaskan bahwa lembaga yang memiliki wewenang atau terlibat dalam pembentukan suatu undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPR).
Dalam perencanaan pembentukan suatu undang-undang, baik DPR, Presiden, maupun DPD berhak mengajukan usulan. Pasal 19 ayat 2 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 20 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 21 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden’.
Dari beberapa pasal yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, ketiga lembaga tinggi negara tersebut dapat mengajukan rancangan undang-undang dengan mengacu pada asas-asas batang tubuh dan materi perundangan sebagai diatur pada pasal 5 sampai pasal 7 UU No. 10 tahun 2004. Pembahasan rancangan undang-undang yang telah diusulkan dilakukan bersama DPR melalui komisi atau bagian yng bertanggung jawab pada pembahasan rancangan undang-undang.

B. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pada dasarnya, pembuatan undang-undang melalui beberapa tahap, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Pasal 1 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004).
1. Tahap perencanaan
Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres) (Setyowati & Solikhin, 2007).
2. Tahap persiapan
Pasal 17 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Rancangan undang-undang yang dapat diajukan sebagai diatur dalam ayat 2 adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyusunan rancangan undang-undang sebagai dimaksud oleh pasal 17 ayat 1 dapat dilakukan di luar program legislasi nasional (prolegnas) dalam keadaan tertentu (Pasal 17 ayat 3).
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan pembentukan undang-undang dimulai dengan pengusulan rancangan undang-undang oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang telah disebutkan disertai dengan surat resmi sebagai pemberitahuan kepada lembaga lainnya. Setelah draft rancangan diterima, maka wakil dari lembaga negara melakukan pembahasan rancangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
3. Teknik penyusunan
Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan.
Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.
Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian (Setyowati & Sholikin, 2007).
4. Tahap pembahasan
Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR (Setyowati, 2006).
a. Pembahasan tingkat pertama
Pembahasan tingkat pertama melalui tahap-tahap berikut, yaitu:
1. Pandangan fraksi-fraksi, atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didului dengan pandangan dan pendapat presiden, atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.

2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.
3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
Dalam pembahasan tingkat pertama dapat juga dilakukan:
1. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU).
2. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain.
3. Diadakan rapat intern
b. Pembahasan tingkat dua
Pembahasan tingkat dua melputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Laporan hasil pembicaraan tingkat I
2. Pendapat akhir fraksi
3. Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya
5. Tahap pengesahan
Tahap ini dilakukan setelah rancangan undang-undang telah disepakati dalam rapat pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan lembaga negara lainnya, termasuk Presiden. Pengesahan undang-undang dilakukan oleh Presiden paling lambat lima belas hari kerja sejak rancangan undang-undang yang disepakati dikirim oleh DPR kepada Presiden.

6. Tahap pengundangan
Rancangan undang-undang yang telah ditandatangani oleh Presiden dikirim ke Sekretariat Negara untuk diregistrasi dan diundangkan. Undang-undang ini kemudian dimasukkan dalam lembaran negara.
7. Penyebarluasan
Penyebarluasan undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan dapat disebarluaskan melalui berbagi media, baik media cetak maupun media elektronik. Selain itu, undang-undang yang telah disahkan dapat disebarkan melalui internet, antara lain melalui website resmi DPR.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasar uraian yang telah diutarakan pada bab pembahasan, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Lembaga yang berwenang untuk mengusulkan atau mengajukan rancangan undang-undang adalah Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah. Pengajuan rancangan undang-undang harus mengacu pada asas-asas pembuatan undang-undang.
2. Tahap-tahap dalam pembuatan undang-undang adalah perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
More aboutTEKNIK PEMBUATAN UNDANG-UNDANG

PELETAK – PELETAK DASAR SOSIOOGI HUKUM

Posted by Unknown on Selasa, 26 Januari 2010

A. DI EROPA
1. DURKHEIM
Dua karya utamanya yang di dalamnya ia membahas masalah-masalah hukum De la division du travail social (1893, terjemahan bahasa inggris 1915) dan “Deux lois de l’evolution penala” (dalam Anne Sociologique, Vol IV, 1900) maka semua karyanya termasuk catatannya yang penting yang diterbitkan dalam Anne Sociologique (yang sepertiganya dikhususkan bagi sosiologi hukum), banyak jasanya dalam menjelaskan dan menerangkan lapangan ini.
Divisiondu TravailSocia ngan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis-jenis hukum. “lambang kesetiakawanan sosial yang tampak (dianggap sebagai suatu kesetiakawanan yang sungguh-sungguh, yakni sebagai suatu bentuk kemasyarakatan) adalah hukum”.
Sosiologi hukum itu harus membedakanantara jenis-jenis hukum. Klasifikasi pertama yang harus dilakukan ialah antara hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan mekanis atau kesetiakawanan karena persamaan, dan hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan organis atau kesetiakawanan karena perbedaan. Hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan mekanis ialahhukum pidana; yang bersesuaian dengan kesetiakawanan organis ialah hukum keluarga, kontrak dan dagang, hukum prosedur, hukum administratif, dan konstitusionil. Semua hukum yang dapat dirumuskan sebagai peraturan-peraturan dengan sanksi-sanksi terorganisasi adalah berlawanan dengan peraturan-peraturan dengan sanksi-sanksi yang bertebaran (rules with diffused sanctions), yang menjadi ciri khas dari Moralitet. Demikianlah, dua tipe pokok pengaturan hukum, yang paralel dengan dua tipe kesetiakawanan yang berlawanan yang dijelmakan dalam dua jenis sanksi-sanksi yang terorganisasi yang berlain-lainan : hukum yang timbul dari kesetiakawanan mekanis diiringi dengan sanksi-sanksi yang sifatnya mengekang dan hukum yang timbul dari kesetiakawanan organis diiringi oleh sanksi-sanksi yang sifatnya memulihkan.
Sanksi yang sifatnya mengekang (represive) adalah suatu sanksi yang berarti suatu celaan dari masyarakat, suatu penghinaan terhadap kehormatan, baik dalam bentuk hukuman mati, atau hukuman badan, penghapusan kemerdekaan, dan lain-lain atau semata-mata pencelaan di muka umum. Sanksi yang sifatnya memulihkan semata-mata berdiri dari pemulihan benda-benda sediakala, hubungan-hubungan yang terganggu dipulihkan ke dalam keadannya yang normal, baik dengan membatalkannya, yakni menghapuskan segala nilai sosialnya.
Durkheim membedakan hukum kontrak dari hukum yang berada di luar kontrak (hukum rumah tangga, hukum serikat buruh, hukum konstitusionil, dan lain-lainnya). Selanjutnya ia menyatakan bahwa dalam kontrak itu tak semuanya bersifat kontrak dan bahwa sering kerja sama kita yang bersifat sukarela menciptakan kewajiban-kewajiban yang tak kita inginkan, yakni, ada timbul di bawah bentuk kontrak hukum yang diundang-undangkan dari berbagai kelompok-kelompok yang tidak dapat dikembalikan kepada jumlah anggota-anggota atau apa yang semenjak Durkheim dinamakan Actes-Regles (undang-undang yang mengatur) atau “Contracts of Adhesion”.
Sementara itu, ia berpendapat bahwa hukum Restitutif meliputi pula suatu hukum yang semata-mata bersifat negatif, yang sama dengan semata-mata pengingkaran (seperti hukum yang nyata) yang seolah-olah tidak ada persesuaiannya dengan tipe kesetiakawanan yang mana pun juga dan hukum kerja sama positif, yang satu-satunya melambangkan kesetiakawanan organis dan yang terpecah menjadi dua tipe lainnya yang baru tersebut tadi.
Untuk membenarkan tesis ini, Durkheim telah menunjuk kepada sejarah hukum. Ia tetap berpendapat bahwa makin archais suatu masyarakat, makin represif atau mengekang sifat sanksi-sanksinya yang sangat keras dan dahsyat; semakin tinggi tingkat perkembangan suatu masyarakat, semakin ringan hukuman-hukumannya, sehingga pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan.
Durkheim juga membeda-bedakan tipe masyarakat, antara lain :
 Tipe masyarakat bersahajanya yang berbidang-bidang, yang terbentuk dari clan-clan (horde yang diintegrasikan dengan satuan yang lebih besar) seperti yang terdapat di antara bangsa Australia dan Iroquoi).
 Tipe masyarakat yang berbidang-bidang yang tersusun secara sederhana, yang dalamnya terlebur banyak suku (misalnya konfederasi Iroquoi atau Kabyle).
 Tipe masyarakat yang berbidang-bidang yang tersusun rangkap, seperti kota-kota uni dari konfederasi-konfederasi, suku-suku (misalnya Curiae Romawi); di samping dan berlainan dengan segala tipe masyarakat yang terorganisasi yang tersusun tidak dengan penggabungan bidang-bidang yang sama dan homogen melainkan tersusun menurut sistem kekuasaan.
Dalam masyarakat ini, individu-individu diintegrasikan dalam kelompok-kelompok, bukan oleh hubungan-hubungan berdasarkan keturunan, tetapi oleh sifat khusus aktivitet sosial mereka. Tipe yang keempat ini ternyata yang terluas dan dilihat dari sudut mutunya paling berbeda dari yang lain-lainnya; dalam keseluruhannya, tipe ini bersesuaian dengan setiap masyarakat yang sudah jauh perkembangannya.
Tiap-tiap tipe dari masyarakat yang meliputi segala ini mempunyai struktur keagamaan, hukum dan ekonominya sendiri. Misalnya, totemisme menguasai tipe pertama, agama kesukuan menguasai tipe kedua, agama nasional menguasai tipe ketiga dan untuk sebagian juga tipe keempat, yang kemudian menjadi umum. Sistem hukum dalam tipe pertama bercampur baur dengan tabu-tabu dan kedaulatan terpecah-pecah berhamburan; dalam tipe-tipe hukum kedua dan ketiga untuk sebagian diduniawikan dan diwilayahkan (laicized and territoriallized); akhirnya, dalam tipe keempat, hukum sama sekali terpisah dari agama dan kedaulatan betul-betul dipusatkan dalam satu organisasi.
Haruslah ditambahkan bahwa Durkheim, yang sendirinya tidak puas dengan klasifikasi tipe-tipe sosialnya yang pertama, yang dianggapnya terlalu bersifat kuantitatif dan genetis, membuat beberapa pembetulan yang terpokok dalam I’Anne Seciologique (1910, vol. XI; 1913, vol XII). Di sini ia membedakan :
 Masyarakat-masyarakat yang tersusun dari klan-klan totem (tipe Australia).
 Masyarakat-masyarakat yang dideferensiasikan berdasarkan clan-clan totem yang untuk sebagian berpengaruh (bangsa Indian Amerika Utara; di sini deferensiasinya berupa sistem kelas-kelas yang sedikit banyaknya bercorak agama, orde-orde militer, golongan-golongan paderi, berbagai alat kekuasaan sosial).
 Masyarakat-masyarakat kesukuan dari turunan laki-laki yang dalamnya ada suatu perkembangan kelompok-kelompok sosial (masyarakat-masyarakat desa) dan pemerintahan pusat yang tetap (Negrito, Sudan, Bantu, dan lain-lain).
 Masyarakat-masyarakat nasional (bangsa-bangsa, yang dalamnya terdapat berbagai tipe). Meskipun klasifikasi kedua ini mengutarakan segi kualitatif dari tipe-tipe dan ketaklestariannya (Discontinuity) yang hakiki secara lebih jelas, namun tetap ada saran adanya genesis yang lestari.
Masalah-masalah sosiologi hukum genetis yang sebenarnya (yakni faktor-faktor yang menguasai perubahan hukum) memenuhi perhatian Durkheim dalam dua segi : pertama, faktor morfologis dan khususnya demografis (jumlah kepadatan penduduk) dan kedua, faktor keagamaan atau lebih tepat : pengaruh kepercayaan-kepercayaan akan yang keramat (termasuk di dalamnya pula, menurut Durkheim, Magi lepas dari Agama).
Setelah dengan kemampuan luar biasa mengemukakan masalah hubungan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis hukum. Durkheim terhalang mencapai hasil-hasil yang definitif karena tiga faktor : klasifikasinya mengenai bentuk-bentuk hubungan sosial terlalu bersahaja; perhubungan yang diciptakannya antara hukum dan paksaan yang terorganisasi sangat diragukan kebenarannya; akhirnya, hukum bukanlah lambang dari segala bentuk hubungan sosial, tetapi hanya dari beberapa bentuk tertentu, yang bersesuaian dengan kondisi-kondisi yang tepat, karena bentuk-bentuk hubungan sosial ternyata dapat seteril dilihat dari sudut hukum.
Sebab terakhir dari kesukaran-kesukaran yang telah diperlihatkan dalam sosiologi Durkheim ialah : terlalu diutamakannya masalah-masalah genetis, terpusatnya perhatian kepada paksaan-paksaan yang terorganisasi, dan tendensi terselubung ke arah monisme sosial dan hukum tentulah terletak dalam keragu-raguannya mengenai isi kerohanian pengalaman hukum. Idealisme keadilan terkadang dianggapnya sebagai proyeksi-proyeksi sederhana dan hasil-hasil dari subjektivitas kolektif, terkadang sebagai isi kandungan sui genetis. Dua konsepsi yang digabungnya, dengan menaikkan kesadaran kolektif ke tingkat roh metafisika. Durkheim dengan jelasnya melihat keharusan, dalam sosiologi hukum, adanya sintesa antara idealisme dan realisme, atau lebih tepat adanya suatu dasar “idealitas realitas”. Tetapi sementara itu ia tidak pernah melepaskan cita atau gagasan untuk menggantikan bahasan sistematis-normatif pola-pola hukum, ia tidak mencapai sintesa yang diinginkan. Dalam bahasn-bahasannya yang kongkrit mengenai sosiologi hukum, realismenya mengenyahkan idealismenya, yang hampir-hampir saja membawa dia kembali kepada konsepsi hukum sebagai suatu epiphenomena sederhana, suatu proyeksi subyektif : itulah sebabnya lebih diutamakan penyelidikan genetis. Dalam konsepsi-konsepsi umumnya, sebaliknya, :hyperspiritualismenya : yang terpendam membawanya kepada juridiksi dan moralisasi segala kenyataan sosial.
2. DUGUIT, LEVY DAN HAURIOU
Tiga peletak dasar sosiologi hukum bangsa Prancis, Leon Duguit (meninggal tahun 1938), Emmanuel Levy dan Maurice Hauriou (meninggal tahun 1930), sampai pada sosiologi hukum bukan dari sosiologi, tetapi dari ilmu hukum. Sedang dua orang tersebut terdahulu dapat dianggap sebagai murid-murid Durkheim, maka yang terakhir ini menganggap sebagai lawannya. Tetapi, Hauriou-lah yang meneruskan mencari sintesa antara realisme dan idealisme sebagai suatu dasar bagi sosiologi hukum. Sebaliknya, Duguit menganggap dirinya “realistis dan bukannya naturalistis” dalam orientasinya, sedang Levy cenderung kepada subjektivismenya yang sangat idealistis.
3. LEON DUGUIT
Ia tidak begitu mengindahkan bahasan sosiologi hukum itu sendiri, melainkan lebih mementingkan penggunaannya dalam ilmu hukum yakni teknis sebagai seni dari sistematisasi hukum yang benar-benar berlaku, khususnya hukum konstitusionil (ef. karyanya Traite deDroit Constitutionnel, edisi pertama, 1908, edisi kedua. 1920-1927). Bersamaan dengannya, ia terus-menerus berbicara tentang “suatu teori hukum sosiologis”. Teori ini hanya dapat mengkompromikan sosiologi hukum, yang tujuannya sangat berlainan dengan filsafat hukum, filsafat hukum dan sama sekali tidak tidak dapat menganggap dirinya sebagai penggantinya.
Dalam berusaha secara kritis menghargai sosiologi hukum Duguit, marilah kita dari awal mencatat bahwa nampak jelas adanya kontradiksi antara bagiannya yang sistematis dan bagian-bagian tipologis serta genetisnya. Memang, pada satu pihak, Duguit menyatakan kedaulatan negara tidak pernah ada dan di lain pihak, bahwa kedaulatan itu sedang dalam proses pelenyapannya di masa kita sekarang ini;pada teempat lain ia mengatakan bahwa otonomi kehendak selalu merupakan suatu khayalan metafisis, dan di tempat lain ia menguraikan betapa otonomi itu lambat-laun dibatasi oleh alat-alat penyelenggara ikatan-ikatan hukum lainnya.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa kecenderungan umum dari penyelidikan Duguit adalah terlalu dogmatis, terlalu diresapi oleh asas realivitas. Di lain pihak, uraian-uraian genetisnya adalah jelas tidak bebas dari suatu prasangka yang tertentu, suatu hasrat untuk membuktikan bahwa evolusi hukum sekarang ini membenarkan premis-premis teoritikusnya, realisme sensualisnya, tiadanya hak-hak sesrta subyek-subyek hukum kenyataan hukum, dan lain-lain.
Jika kita membedakan antara kedaulatan hukum (lebih mengutamakan kerangka hukum yang satu di atas kerangka hukum lainnya) dan kedaulatan politik (monopoli atas paksaan tidak bersyarat), sebagaimana ang dilakukan oleh Duguit, maka kita akan segera sadar bahwa perubahan-perubahan penting dapat terjadi dalam hubungan antara negara dan hukum.
a. Jikalau Duguit berusaha memutar sintesa sosiologis durkheim ke arah suatu realisme naturalistis yang radikal hingga sampai pada sensualisme, maka sebaliknya ‘Emmanuel Levy”, mencoba memberinya orientasi yang semata-mata bersifat subyektif dan idealistis. Buku-bukunya, La’Affirmation du Droit Collectif (1903), dan Les Fondements de Droit (1929), merupakan sosiologi hukum berdasarkan semata-mata atas “kepercayaan-kepercayaan kolektif”.
“Dematerialisasi Hukum" total dari Levy, diartikan sebagai reduksi segala kehidupan hukum menjadi kepercayaan-kepercayaan saja, adalah berupa suatu interpretasi tentang segala lembaga-lembaga hukum di bawah aspek-aspek “kepercayaan, kejujuran, pengharapan”.
Akhirnya, pemusatan perhatian kepada psikologi kolektif semata-mata, atau lebih tepat; kepada psikologi inter-mental, yang melenyapkan segala pertikaian antara berbagai lapisan-lapisan ke dalaman dari kenyataan sosial dan hukum (khususnya, antara superstruktur yang diorganisasi dan infrastruktur-infrastruktur yang spontan) menyebabkan mengabaikan keseibangan-keseimbangan yang kompleks dan bervariasi antara asas-asas penguasaan dan kerja sama. Kesemuanya ini mengacaukan fahamnya tentang perubahan-perubahan hukum, menuju ke arah kemenangan jenis hukum ini. Keragu-raguan serta ketidaktelitian menjadi semakin bertambah, karena tiadanya analisis mikrososiologi sama sekali, padahal analisis ini akan memperlihatkan adanya pertentangan antara massa, perkauman dan komunion.
b. Berlawanan dengan realisme sensuailis dari duguit dan idealisme subyektivistis dari Levy, Maurice Hauriou, seperti Durkheim, berusaha mencari suatu dasar yang “idealistis-realistis” bagi sosiologi hukum. Tetapi, tidak seperti Durkheim, ia dengan tegas membenarkan ketidakmungkinan direduksikannya lagi tingkat nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang mengambil bagian di dalam kehidupan sosial, mengenai akal budi kolektif yang memahami nilai-nilai dan gagasan-gagasan itu. Sebaliknya, menurut Maurice Hauriou, gagasan-gagasan ini memberi perlawanan, dan bertindak sebagai objeknya. “pada hemat saya”, demikian tulisnya, “yang paling penting bagi ilmu sosial ialah melepaskan diri dari filsafat subyektivisme dan berpegang objektifidealisme, meskipun yang demikian ini berarti kembali kepada idealisme Plato”. Menurutnya, titik pertemuan antara sosiologi hukum dan filsafat hukum ialah lembaga dan lembaga inilah yang menjadi pusat perhatian dan usaha-usaha terutama dari Hauriou.
Di antara berbagai karya Hauriou, yang paling langsung berkenaan dengan sosiologi hukum ialah Science Sociale Traditionelle (1896), I’institution et le Droit Statutaire (1906). Principes de Droit Public (cetakan pertama, 1910, cetakan kedua yang mengalami perubahan, 1916), La Souverainete Nationale (1912), La Theorie de I’institution et de la Fondation (1925, dalam Cahiers de la Nouvelle Journee). Karyanya Precis de Droit Connstitutionel (edisi pertama, 1923, edisi kedua, 1928) sebaliknya lebih bersifat teknis.
Lapiasan-lapisan menurut Hauriou adalah sebagai berikut :
 lapisan yang teratas adalah lapisan peraturan-peraturan hukum yang kaku, yangditentukan lebih dahulu oleh prosedur-prosedur teknis pengakuan seperti undang-undang, adat, preseden-preseden, pengadilan, perjanjian-[erjanjian kolektif, dan lain-lain.
 kemudian peraturan-peraturan yang lebih luwes yang dibuat ad hoc untuk perkara-perkara yang kongkrit (peraturan-peraturan yang diadakan oleh “polisi pengadilan” atau hukum kebijaksanaan dan disiplin).
 akhirnya lembaga itu sendiri, yang mewujudkan kenyataan bahwa “semua hukum itu tidak dapat direduksi menjadi peraturan-peraturan hukum”, yang akan tetap khayal sifatnya, seandainya tidak bersandarkan otoritas yang impersonal dan spontan nilai-nilai dalam kenyataan-kenyataan”, khususnya gagasan-gagasan tentang “keadilan dan kedamaian sosial”.
Hauriou membedakan (dan mempertentangkan) dua jenis lembaga : lembaga-lembaga kelompok – badan-badan sosial, dan apa yang dinamakan “thing institutions” atau lembaga perizinan- “yang digunakan untuk berhubungan dengan yang lain-lainnya”. Lembaga-lembaga kelompok adalah “suatu fenomena dari interpenetrasi kesadaran perseorangan, yang dicekam oleh gagasan dan pikiran yang sama, yang (atau lebih tepat memahami) satu sama lain”.
Lembaga perizinan (thing-institution) atau “jurnal Commerce” (transaksi-transaksi), sebagaimana halnya dengan semua lembaga kelompok mewujudkan gagasan-gagasan yang objektif, khususnya gagasan tentang keadilan komutatif. Tetapi berdasarkan fondasi sosiologinya bisa jadi berlainan. Di sini kita hanya memprihatinkan “hubungan-hubungan dengan orang lain”, di luar lembaga kelompok, yakni hubungan-hubungan antara kelompok-kelompok atau perseorangan-perseorangan yang pada asasnya tetap berbeda satu sama lain, yang saling dipisahkan satu sama lain, dan ikatan mereka tidak melebihi perhubungan yang berbeda dari kommunion.
Yang paling dalam lapisannya dan paling primitif sifatnya ialah lembaga-lembaga kelompok, yang perannya sama dengan peranan lapisan granit dalam bumi : yakni kerangka keras yang menyangga lapisan-lapisan yang lebih baru sebagai akibat hubungan-hubungan yang diletakkan dengan yang lain-lainnya pada zaman “Alluvium” sudah barang tentu, kontras antara hukum objektif dan hak-hak tidak terlihat di dalamnya, karena keduanya terjalin dengan hukum perseorangan dan hukum sosial. Selain itu, keseimbangan antara kedua tata tertib hukum yang tersebut terakhir ini (keduanya serentak menyimpulkan pengertian-pengertian hukum objektif dan hak-hak onjektif) adalah goyah dan “berkali-kali dibalikkan dalam sejarah hukum”. Pembalikkan itu sendiri disebabakan oleh adanya berbagai macam hukum sosial, yang dalam pengertian ini tetap mengambil tempat yang terpenting. Ini adalah cara memandang yang sungguh-sungguh bersifat relativistis dan sisologis, yang sayangnya tidak terlalu dipegang teguh oleh Hauriou dalam karya-karyanya yang terakhir.
Akhirnya, setelah meninggalkan konsepsi-konsepsinya yang semula, ia tidak ingin menganggap masyarakat ekonomi en bloc sebagai suatu kelompok-lembaga dan secara a priori manyamakannya dengan “perizinan hukum” (sistem transaksi-transaksi), dan menyatakan secara agak mengejutkan, bahwa “titik beratnya adalah dalam negara borjuis, yang di dalamnya tersimpul kekebalan milik perseorangan dan kebebasan pasar”. Karenanya, bukanlah suatu hal yang mengejutkan, bahwa tipologi hukum kelompok-kelompok bukanlah bagian kuat dari sosiologi hukum Hauriou, yang jasanya terletak dalam analisisnya yang mendalam dari kenyataan hukum, yang mengemukakan “keserbamajemukkan horizontalnya”.
4. MAX WEBER DAN EUGENE EHRLICH
Meskipun sosiologi hukum Max weber (meninggal dunia tahun 1922), yang diutarakannya dalam Bab VII pada bagian ke-2 dari Wirtsschaft und Gesellschaft, telah diterbitkan bertahun-tahun kemudian dari karya-karya sarjana Austria, Eugene Ehrilch (yang meninggal dunia tahun 1923), namun konsepsi-konsepsi Ehrlich bolehlah dianggap sebagai suatu jawaban pendahuluan terhadap kecendrungan Weber untuk membawakan sosiologi hukum kepada sistematisasi ilmu-hukum yang dogmatis konstruktif.
Dalam tiga karyanya yang terutama, Beitrage zur Theorie der Rechtsquellen (1902), Grundlegung der Sozioligie des Rechts (jilid pertama 1913, jilid kedua 1928) dan Die Juristische Logik (1919), Ehrlich menyelenggarakan dua tugas. Pertama, ia hendak menunjukkan bahwa apa yang dinamakan “ilmu hukum” yang diselenggarakan oleh para ahli hukum adalah semata-mata suatu “teknik” yang bersifat relatif dimaksudkan untuk mencapai tujuuan-tujuan praktis dan sementara waktu, dan berkat sistematisasi khayali, tidak mampu memahami apa pun, kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hukum integral dan spontan dalam segala tingkat kedalamannya. Tetapi lebih dari pada Hauriou, puralisme vertikal dari tingkat-tingkat atau lapisan-lapisan bagi Ehrlich akhirnya menghubungkan masalah diferensiasi peraturan hukum semata-mata dengan lapisan-lapisan kedalaman, seolah-olah setiap jenis hukum tidak mempunyai lapisan-lapisannya sendiri yang terletak diatasnya.
Kenyataan bahwa “ilmu” hukum dogmatis-normatif bukanlah suatu ilmu melainkan semata-mata suatu teknik yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan pengadilan yang bersifat temporer, menjadi sangat jelas apabila diketahui bahwa asas-asas yang biasanya dianggap bersumber pada “logika hukum” yang tidak berubah-ubah, sesungguhnya adalah penyesuaian kepada keadaan-keadaan kesejarahan yang sangat kongkrit. Demikianlah tiga “postulat” dari “apa yang dinamakan logika hukum”, yangsesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan logika yang sebenarnya. Yakni : pertama. Pengabaian kebebasan bagi hakim, yang terikat oleh dalil-dalil yang ditetapkan terlebih dahulu. Kedua, tergantungnya segala hukum kepada negara. Ketiga, “kesatuan hukum”, yang disamakan dengan keruntuhan sistematis dari dalil-dalil hukum.
B. DI AMERIKA
Di dalam kata pengantar, kita telah menelaah tingkat-tingkat approach sisologi Amerika dalam upaya memasukkan masalah-masalah sosiologi hukum. Perkembangan ilmu ini di Amerika Serikat adalah berkat usaha ahli-ahli hukum.
1. O.W. HOLMES
Fase persiapannya berkaitan erat dengan nama Hakim Holmes, salah seorang sahabat karib dari fillosof besar Amerika, William James. Dalam bukunya Common Law (1881), dan lagi dalam serangkaian bahsan-bahasannya yang penying (yang terutama sekali ialah The Path of the Law, 1897, dicetak ulang dalam Collect Legal Paper, 1921), Holmes sudah memberi isyarat yang disebut tepatnya oleh Professor Aronson “revolusi sosiologi dalam ilmu hukum” di Amerika. Sambil menolak dengan tegasnya baik mazhab analitis maupun mazhab historis, Holmes menekankan perlunya bagi sarjana hukum untuk yang berkaitan dengan pekerjaannya memberikan perhatian kepada penelaahan-penelaahan yang obyektif dan empiris dari kenyataan sosial yang aktual, sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu-lmu sosial, khususnya sosiologi.
Setelah memperhatikan beberapa kutipan-kutipan adalah menjadi kesangsian mengenai arti yang pasti dari perkataan Holmes : “kehidupan hukum tidak pernah berdasarkan logika, melainkan merupakan pengalaman”, yakni pengalaman yang isinya harus dillukiskan oleh sosiologi hukum. Pengalaman ini bukan hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pengalaman data dan bukunya kelakuan saja, tetapi juga lambang-lambang serta arti-arti kerohanian yang mengilhami kelakuan-kelakuan sosial.
Akhirnya, penyamaan hukum dan yurisprudensi, di mana yang tersebut terakhir ini dianggap semata-mata sebagai penggeneralisasian dari yang dikemukakan sebelumnya, menyebabkan tidak adanya kejelasan hubungan-hubungan antara ilmu hukum dan sosiologi hukum, yang mana ia berkecenderungan menyamakan yang satu dengan yang lainnya. Karena mengakibatkan ilmu hukum, sebagai suatu seni, menjadi suatu ilmu deskriptif dalam arti yang sempit, Holmes agak terpaksa merubah ilmu sosiologi menjadi suatu seni, sambil berusaha melenyapkan tujuan-tujuan ilmu hukum yang efektif sebagai seni.
Kesukaran-kesukaran yang terkandung didalamnya, yang sedikit banyak merupakan karakteristik utama dari seluruh perkembangan sosiologi hukum di Amerika Serikat, namun telah menjadi sangat ringan berkat kecermatan yang luar biasa serta keluwesan berfikir Holmes dan khususnya oleh konsepsinya bahwa pengadilan-pengadilan itu sendiri memperlakukan kespontanan hukum dari masyarakat, yang memojokkan dirinya sendiri didalamnya.
2. ROSCOE POUND
Sosiologi hukum di Amerika Serikat telah menemukan ketelitian yang sangat terperinci dan meluas, berkat penemuan ilmiah Roscoe Pound, pakar tiada tandingannya dari mazhab “ilmu hukum sosiologis yurisprudensi. Pikiran Pound dibentuk dari hasil pertentangan secara terus-menerus dari masalah-masalah sosiologis (masalah-masalah pengawassan sosial dan kepentingan sosial), masalah-masalah filsafat (pragmatisme serta teori eksperimental tentang nilai-nilai), masalah-masalah sejarah hukum (berbagai sifat kemantapan dan keluwesan dalam tipe-tipe sistem hukum), dan akhirnya, masalah-masalah sifat pkerjaan pengadilan-pengadilan Amerika (unsur kebijaksanaan administratif dalam proses pengadilan). Banyaknya titik perhatian serta titik tolak membantu Pound untuk memperluas dan memperjelas perspektif-perspektif yang meluas dari sosiologi hukum dan lambat-laun berbagai aspeknya.
Dalam program yang terdahulu bagi ilmu ini (yakni ilmu hukum sosiologis), meskipun pemandangan sangat luas, Pound lebih mengutamakan tujuan-tujuan praktis :
 Menelaah “akibat-akibat sosial yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum”, dan karenanya, “lebih memandang kepada kerjanya hukum dari pada isi abstraknya”.
 Mengajukan “studi sosiologis berkenaan dengannya studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan”, dan karena itu menganggap, “hukum sebagai lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha-usaha sedeikianitu”.
 Untuk menciptakan “efektifitas studi tentang cara-cara membuat peraturan-peraturan” dan memberi tekanan kepada “tujuan-tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya kepada sanksi”.
 Studi “sejarah hukum sosiologis”, yakni tentang “akibat sosial yang telah dihasilkan oleh doktrin-doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya”.
 “Membela apa yang telah dinamakan pelaksanaan hukum secara adil” dan “mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai petunjuk-petunjuk ke arah hasil-hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya terutama sekali sebagai bentuk-bentuk yang tidak dapat berubah”.
 “Akhirnya, tujuan yang hendak dicapai oleh apa yang tersebut di atas ialah agar lebih efektifnya usaha untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum”. (baca “The Scope and Purpose of the Sociological yurisprudensi”, Harvard Law Review, 1912, vol. 25, hal. 513-16).
Berbagai interprestasi dari sejarah (yang bersifat etika keagamaan, etologis, ekonomis, pragmatis, dan lain-lain) dengann sendirinya telah ditetapkan oleh situasi-situasi kongkrit yang dari suatu tipe masyarakat (Interpretations of Legal History, passim). Perubahan-perubahan sistem hukum kita yang aktual adalah sebagai berikut :
1. Pembatasan-pembatasan dari penggunaan kekayaan.
2. Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan perjanjian-perjanjian.
3. Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan memiliki kekayaan.
4. Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan creditor atau pihak yang dirugikan untuk menjamin kepuasannya.
5. Perubahan cita atau gagasan tentang pertanggungjawaban dalam arti adnya dasar yang lebih obyektif.
6. Keputsan-keputusan pengadilan mengenai kepentingan-kepentingan masyarakat, dengan membatasi peraturan-peraturan umum untk lebih mengutamakan pedoman-pedoman luwes dan kebijaksanaan,.
7. Dana-dana umum hendaknya diadakan untuk mengganti kerugian kepada individu-individu yang dirugikan oleh alat-alat kekuasaan negara.
8. Perlindungan kepada anggota-anggota rumah tangga yang hidupnya masih bergantung pada keluarga.
Semua perubahan ini adalah “jalan ke arah sosialisasi hukum yang aktual”. (The Spirit of the Common Law, hal. 185-92).
Dalam serangkaian karya-karyanya, yang terbit kemudian, Poun telah menandaskan dengan keberanian yang luar biasa pada kenyataan sosial, khususnya kenyataan sosial dari hukum,telah diresapi oleh “unsur-unsur yang diidam-idamkan”, “nilai-nilai kerohanian”. Demikianlah, sosiologi hukum baginya tidak mungkin terkecuali sebagai satu bagian dari apa yang kita usulkan agar dinamakan sosiologi jiwa manusia atau akal budi intelektual (sociology of the noetic mind). Karena menurut Pound, dalam kenyataan sosial dari hukum ada tergabung “kegunaan sosial” dan “unsur-unsur yang diidam-idamkan”, “kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan penertiban-penertiban sosial” serta nilai-nilai kerohanian, maka ia bersama dengan Hauriou sampai kepada suatu konsepsi hukum yang bersifat ideal-realistis. Suatu sintesa antara idealisme dan pragmatisme disini telah menolong dan membimbingnya melihat nilai-nilai huhkum dalam pengkhususannya yang konkret dan hubungan-hubungan fungsionalnya dengan struktur-struktur dan situasi-situasi sosial.
3. BENJAMIN CARDOZO
Seperti halnya dengan sosiologi hukum Holmes dan Pound, maka sosiologi hukum Hakim Cardozo ini bertolak dari perenungan tentang perlunya memperbaharui teknik hukum yang aktual dengan menutup jurang antara teknik hukum itu dan kenyataan hukum yang hidup dewasa ini. Seperti mereka bahkan lebih-lebih lagi, perhatiannya pertama-tama dipusatkan kepada aktifitas pengadilan-pengadilan. Karya pertamanya yang diberi judul The Nature of Judikal Proces yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa “ketidaktepatan yang semakin bertambah oleh keputusan-keputusan” adalah suatu manifestasi yang tidak dapat dicegah dari kenyataan bahwa proses pengadilan”bukanlah penemuan, melainkan penciptaan”, penciptaan yang diperhebat oleh situasi sesungguhnya dari kehidupan hukum. Situasi ini terdiri atas kenyataan “bahwa untuk setiap tendensi kelihatannya orang harus mencari tendensi lawan, dan bagi setiap peraturan harus dicarikan lawannya pula”. Lawan-lawan (anti nomies) ini dihadapkan pada pengadilan-pengadilan, bukan saja karena jurang-jurang serta kekosongan-kekosongan dalam peraturan-peraturan hukum, bukan saja karena kenyataan”bahwa hanya sedikit peraturan, yang ada terutama hanyalah postulat-postulat, pedoman-pedoman dan derajat-derajat”, tetapi juga karena sengketa spontanitas antara peraturan-peraturan dalam masyarakat itu sendiri.
Meskipun demikian, Cardozo tidaklah mau mengikuti yang dicontohkan Duguit,Krabbe dan Ehrlich dan untuk memasukkan kenyataan sosial yang terdalam hukum itu sendiri. Sambil mengecam penul.is-penulis tersebut, ia menyatakan lagi bahwa”adat kebiasaan” hanya menjadi hukum jika mendapat sanksi atau mampu mengadakan sanksi demi pengadilan-pengadilan. Ia bersandar bahwa definisi Holmes tentang hukum sebagai suatu”ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan”. Tetapi supaya tidak terlampau membatasi lapangan bahasan atau studi sosiologi hukum, ia memberi suatu interpretasi yang luas terhadap konsep ini.
Buku terakhir Cardozo, Paradoxes of Legal Sciences(1928) yang paling berkesan dari antara karya-karyanya, maju selangkah lagi ke arah sosilogi hukum yang bebas dari teknik yuridis (yurisprudensi) dan yang bertugas sebagai satu dasarnya. Sosiologi hukum haruslah dibimbing oleh kesadaran,demikian tulis Cardozo dalam bukunya ini, bahwa “hukum menentukan suatu hubungan tidak selalu antara titik-titik yang berlainan kedudukannya.
Realis Hukum dan Selanjutnya
K. M. Lewelyn dan Thurman Arnold. Mazhab neo realistis yang berkembang selama sepuluh tahun yang terakhir ini merup[akan suatu reaksi yang sengit terhadap orientasi “sociologikal yurisprudence” yang bersifat terutama sekali teleologis dan moralistis. Para sosiolog berusaha untuk menghpuskan pertimbangan-pertimbangan teleologis dan penilaian-penilaian baik buruk, bukan saja dari sosiologi hukum melainkan juga dari ilmu hukum sendiri. Mengenai kesimpulan-kesimpulan positifnya, yang pada umumnya tetap fragmentaris, terdapat perbedaan-perbedaan besar,”realis-realis” itu. Pada dasarnya, hanya sangat berbeda satu sama lain, mempunyai hubungan langsung dengan masaslah-masalah sosiologi hukum yang sesungguhnya. Hanya mereka yang perlu kita perhatikan, tetapi karena orientasi terakhir dari karya-karya mereka nampaknya melampaui “realisme hukum”, maka kita mulai saja dengan menyifatkan dengan beberapa titik gertolak mereka, setidak-tidaknya sama bagi semua juru bicara pada permulaan diskusi.
Para “realis-realis hukum” (legal realis) itu semua memulai dengan interpretasi yang sangat sempit dan sungguh-sungguh buruk dari definisi hukum Holmes, yakni hukum sebagai”ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan”. Sambil menghapuskan dari pertimbangan mereka peraturan, asa, pedoman, nilai-nilai, pendapat-pendapat para hakim dan akhirnya hukum yang dipaksakan kepada pengadilan-pengadilan secara langsung atau tidak langsung, para realis ini secara primitif mereduksikan hukum menjadi putusan-putrusan para hakim semata-mata, atau lebih tepat kelakuan-kelakuan para hakim. Demikianlah, maka Lewelyn menulis dalam karyanya yang pertama: Apa yang diperbincangkan oleh para pembesar (hakim-hakim atau polisi-polisi atau klerk-klerk atau sipir-sipir atau ahli-ahli hukum) menurut pendapatnya adalah hukum itu sendiri”.









PELETAK – PELETAK DASAR SOSIOOGI HUKUM

Tugas ini disusun guna memenuhi nilai UAS Smester V
mata pelajaran Sosiologi Hukum



















Dosen Pembimbing :
Bpk. H. Ainur Rosyid, SH


Dirangkum Oleh :
Hikmatul Umam
NIM: 07.3394




FAK. SYARI’AH JUR. AKHWAL AL – SYAKHSIYYAH
INSTITUT KEISLAMAN HASYIM ASY’ARI TEBUIRENG JOMBANG
TAHUN AJARAN 2010
More aboutPELETAK – PELETAK DASAR SOSIOOGI HUKUM

PERBUATAN PIDANA

Posted by Unknown

BAB I
PENDAHULUAN
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana.
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Adakalanya istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan masyarakat yang dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum, misalnya istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan arti pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih dahulu dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka ragam.Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan pidana lebih lanjut, kita akan membahasnya di dalam makalah ini.










Bab II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut
Dalam rumusan tersebut, bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut. Menurut Prof. Moeljatno, SH kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada dua kejadian yang kongkrit, yaitu:
1) Adanya kejadian yang tertentu.
2) Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris, “criminal act”. Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan lain perkataan: akibat dari suatu kelakuan, yang dilarang oleh hukum. Criminal act ini juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang) selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt). Antara perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat, dan tak mungkin dipisah-pisahkan. Maka dari itu hemat kami perbuatan pidana dapat diberi arti: perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2. Pengertian Pidana dan Straafbaar Feit
Pada mulanya memang perbuatan pidana tidak lain adalah merupakan alih bahasa dari strafbaar feit, akan tetapi tentang isi pengertiannya di bidang ilmu timbul persoalan diantara para sarjana hukum.
Perlu kita ketahui dahulu apakah artinya “strafbaar feit”. Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel merumuskan sebagai berikut; strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatannya itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan kesalahan. Lain halnya strafbaar feit, disitu dicakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahannya.
Pokok pikiran dalam perbuatan pidana diletakkan pada sifatnya perbuatan dan bukan pada sifatnya orang yang melakukannya.

3. Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
Perumusan perbuatan pidana itu dapat dibedakan menjadi tiga bentuk disebabkan karena sumber dan dasar penentuan arti perbuatan pidana. Perumusan perbuatan pidana menurut faham para penulis Belanda, diartikan suatu perbuatan yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat diancam dengan pidana. Sedangkan Prof. Moeljatno, SH merumuskan perbuatan pidana dalam arti suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.
Menurut Prof. Moeljatno, SH., cara merumuskan perbuatan pidana:
Cara I:
Rumusan perbuatan pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam buku II dan buku III dengan maksud agar supaya diketahui dengan jelas perbuatan apa yang dilarang.Untuk mengetahui maksud rumusan tersebut perlu menentukan unsur-unsur atau syarat-syarat yang terdapat dalam perbuatan pidana itu.
Misalnya:
- Pencurian, pasal 362 KUHP
Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan pencurian ialah:
1. mengambil
2. yang diambil ialah barang milik orang lain
3. dengan maksud memiliki secara melawan hukum
- Menadah, pasal 480 ke 1 KUHP
Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan menadah ialah:
1. membeli, menyewa, menukar, dan sebagainya
2. barang yang diketahuinya atau yang selayaknya harus diduga berasal dari kejahatan.
Cara II
Apabila rumusan pasal perbuatan pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan.
Misalnya:
Penganiayaan, pasal 351 KUHP. Rumusan dalam pasal tersebut adalah rumusan umum, batasan-batasannya tidak ditentukan dalam rumusan itu maka ilmu pengetahuan telah menetapkan bahwa isi daripada “penganiayaan” ialah dengan sengaja menimbulkan nestapa (leed) atau rasa sakit pada orang lain.
Cara III
Untuk menentukan perbuatan pidana digunakan selain menentukan dengan unsur-unsur perbuatan pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari perbuatan pidana tersebut.
Misalnya:
Seorang pencuri tidak segera menjual hasil curian, tetapi menunggu waktu dengan hasrat mendapat untung.
Rumusan tersebut memenuhi unsur penadahan, pasal 480 KUHP, namun karena kualifikasi kejahatannya sebagai pencuri maka tetap melanggar pasal 362 KUHP bukan sebagai penadah.

4. Beberapa Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya
a. Perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan dan pelanggaran
Bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.
Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.
Sudah sejak Wetboek v. Strafrecht mulai berlaku, pandangan ini telah ditentang. Disebutkan antara lain bahwa ada pelanggaran yang juga sebelum adanya ditentukan wet sudah dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut, umpamanya pasal 489 straatschending atau baldadigheid (kenakalan)
Pasal 489 ke-1 “Kenakalan terhadap orang atau barang, yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan.” Diancam denda paling banyak lima belas rupiah.
Pasal 494 ke-6, “Barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang, menghalang-halangi sesuatu jalanan untuk umum di barat maupun di air, atau menimbulkan rintangan karena pemakaian kendaraan atau perahu yang tidak semestinya.” Hal ini akan diancam denda paling banyak dua puluh lima rupiah.
Pasal 503 ke-1, “Barang siapa membikin kegaduhan atau memberisikkan tetangga, sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu.”
Diancam dengan kurungan paling lama 3 hari atau denda paling banyak lima belas rupiah.

Pasal 489 mengenai perbuatan pidana menyebutkan kejahatan sedangkan pasal 494 dan 503 termasuk perbuatan pidana menyangkut pelanggaran. Oleh karena itu, pandangan di atas yang dalam kepustakaan terkenal dengan adanya perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran, pada masa sekarang sudah banyak ditinggalkan dan diganti dengan pandangan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.
Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa:
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (pasal 54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (pasal 60).
4. Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak perjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5. Dalam hal perbarengan (Concursus) para pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (pasal 60, 66-70).
Perbedaan kejahatan dan pelanggaran tidak menjadi ukuran lagi untuk menentukan pengadilan mana yang berkuasa mengadilinya seperti dahulunya, oleh karena sekarang semuanya diadili oleh Pengadilan Negeri. Meskipun demikian, ada perbedaan dalam acara mengadili.
b. Perbuatan-perbuatan pidana, selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran
Dalam hal ini secara teori dan prakteknya dibedakan pula antara lain.
1) Delik dolus dan delik culpa
Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya pasal 338 KUHP; “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kalpaan, misalnya menurut pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya. Contoh dari pada delik-delik dolus yang lain:
Pasal 354 : dengan sengaja melukai berat orang lain.
Pasal 187 : dengan sengaja menimbulkan kebakaran.
Pasal 231 : dengan sengaja mengeluarkan barang-barang yang disita.
Pasal 232 (2) : dengan sengaja merusak segel dalam pensitaan.
Contoh daripada delik culpa:
Pasal 360 : karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat.
Pasal 189 : karena kealpaannya menyebabkan kebakaran.
Pasal 231 (4) : karena kealpaannya menyebabkan dikeluarkannya barang-barang dari sitaan.
Pasal 232 : karena kealpaannya menimbulkan rusaknya segel dalam penyitaan.
Dan pidananya:
Pasal 338 : diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
Pasal 354 : diancam karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun
Pasal 187 : (1) pidana penjara paling lama 12 tahun, bahaya umum bagi barang
(2) pidana penjara paling lama 15 tahun, bahaya bagi nyawa orang lain
(3) pidana penjara seumur hidup, bahaya nyawa dan mengakibatkan matinya orang
Pasal 231 : pidana penjara paling lama empat tahun
Pasal 232 (2) : pidana penjara dua tahun delapan bulan
Pasal 360 : pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
Pasal 189 : pidana penjara paling lama tujuh tahun
Pasal 231 (4) : pidana kurungan paling lama satu bulan dan denda paling banyak 120 rupiah
Pasal 232 : pidana penjara dua tahun delapan bulan
2) Delik commissionis dan delikta commissionis
Yang pertama adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal 362), menggelapkan (pasal 372), menipu (pasal 378).

1. Pencurian pasal 362 KUHP.
Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
Jika kita meneliti rumusan perbuatan pidana pencurian tersebut, yang menjadi inti perbuatan terdiri dari unsur-unsur:
a. mengambil barang
b. barang harus kepunyaan orang lain seluruhnya atau sebagian
c. pengambilan barang yang demikian itu harus dengan maksud memiliki secara melawan hukum
Untuk diketahui bahwa pencurian itu terdiri dari 3 unsur seperti tersebut di atas tanpa menitikberatkan suatu unsur.
Menurut Noyon Langemeyer, bahwa pengambilan yang diperlukan untuk pencurian adalah pengambilan yang eigen machtig yaitu karena kehendak sendiri atau tanpa persetujuan yang menguasai barang.
Simons maupun Pompe, menyatakan menyamakan arti mengambil dengan istilah wegnehmen dalam KUHP Jerman yang berarti tidak diperlukan pemindahan tempat dimana barang berada, tetapi hanya memegang saja belum cukup, tersangka harus menarik barang itu kepadanya dan menempatkannya dalam penguasaannya.
Menurut V. Bemmelen, arti wegnehmen dirumuskan sebagai berikut, “Tiap-tiap perbuatan dimana orang menempatkan barang harta kekayaan orang lain dalam kekuasaannya tanpa turut serta atau tanpa persetujuan orang lain atau tiap-tiap perbuatan dengan mana seseorang memutuskan ikatan dengan sesuatu cara antara orang lain dengan barang kekayaan itu.
Pendapat diatas ternyata bahwa “pengambilan” ditafsirkan secara luas, yaitu tidak dengan memindahkan tempat barang karena tangan terdakwa. Menurut Yurisprudensi dianggap sebagai mengambil yaitu: orang yang menggunting kantung orang lain, sehingga isinya jatuh, kemudian diambilnya.
Pendapat Van Bemmelen, lebih jauh lagi dalam menafsirkan kata wegnehmen, dikatakan meskipun tidak ada penempatan barang dalam kekuasaan terdakwa adalah sudah mengambil.
2. Penggelapan pasal 372 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai memiliki (aich toceigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun, atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
Menurut rumusan tersebut diatas bahwa perbuatan itu dilakukan dengan sengaja, lebih-lebih kata sengaja ditempatkan pada awal rumusan sehingga mempengaruhi unsur-unsur lainnya.
Perbedaannya dengan pencurian terletak pada barang sesuatu yang dimiliki sudah ada dalam kekuasaannya, dari sebab itu tidak diperlukan unsur mengambil.
Inti perbuatan yang dilarang dalam penggelapan ialah “sikap mengakui sebagai milik sendiri” harus disalin dengan mengakui sebagai milik sendiri yang merupakan subjectief onrechts element.
3. Penipuan pasal 378 KUHP
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoednigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang ataupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan penjara paling lama empat tahun. Rumusan tersebut berbentuk perbuatan yang disengaja, dengan rumusan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri.
Yang perlu dibuktikan ialah: perbuatan yang melawan hukum yang bagaimana sehingga dapat menggerakkan seseorang untuk menyerahkan sesuatu barang. Perbuatan penipuan ini tidak menggunakan sarana paksaan, tetapi dengan kepandaian seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang berbuat sesuatu tanpa kesadaran yang penuh.

Yang kedua adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya delik dirumuskan dalam pasal:
Pasal 164 KUHP; Tidak melaporkan kepada instansi yang berwajib apabila diketahui suatu pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu pada saat masih ada waktu untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Pasal 224 KUHP; tidak mengindahkan kewajiban menurut undang-undang sebagai saksi atau seorang ahli.
Ada pula yang dinamakan delika commissionis peromissionem sommissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan jalan tidak memberi makan pada anak itu.
3) Delik biasa dan delik yang dikualifisir (dikhususkan)
Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Ada kalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik basa, ada kalanya obyek yang khas, ada kalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa tadi.
Contoh : pasal 362 adalah pencurian biasa, dan pasal 363 adalah pencurian yang dikualifisir, yaitu karena cara melakukannya diwaktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun karena obyeknya adalah hewan. Pasal 351 KUHP adalah penganiayaan biasa sedangkan pasal 353, 354, 355, dan 356 adalah penganiayaan yang dikwalifisir, karena mungkin caranya obyeknya maupun akibatnya adalah lebih khusus daripada dalam penganiayaan biasa. Pidananya.
Pasal 362 pencurian biasa : pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah
Pasal 363 pencurian berat : pidana penjara paling lama tujuh tahun
Pasal 351 penganiayaan biasa : pidana penjara dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah
Pasal 353 : pidana penjara paling lama empat tahun
Pasal 354 : pidana penjara paling lama delapan tahun
Pasal 355 : pidana penjara paling lama dua belas tahun
Pasal 356 : pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan ⅓.
4) Delik menerus dan tidak menerus
Dalam delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Misalnya pasal 333 KUHP, yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah (wederrechtelijke vrijheids-beroving). Keadaan yang dilarang itu berjalan terus sampai si korban dilepas atau mati. Jadi perbuatan yang dilarang tidak habis ketika kelakuannya selesai seperti dalam pencurian misalnya, tapi masih menerus. Sesungguhnya setelah kelakuan selesai yaitu dibawanya si korban ke tempat penahan akibat dari kelakuan itu berjalan terus selama waktu tahanan. Begitu pula pasal 221 KUHP. Disini kelakuannya menyembunyikan orang yang dicari karena melakukan kejahatan. Selama waktu dalam penyembunyiannya, keadaan yang dilarang berjalan terus. Pidananya:
Pasal 333 : pidana penjara paling lama delapan tahun
Pasal 221 : pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah

5. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana, yaitu seperti dalam bahasa Inggris, r
Esponsibility. Ini adalah pengertian tersendiri, terlepas dari perbuatan pidana dalam hal, bahwa kalau dalam perbuatan pidana yang menjadi pusat adalah perbuatannya, dalam pertanggungjawaban sebaliknya, yang menjadi pusat adalah orangnya yang melakukan perbuatan.
Tetapi sesungguhnya – demikianlah ajaran Kantrorowicz tadi – antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, ada hubungan erat seperti halnya dengan perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan. Perbuatan pidana baru mempunyai arti kalau di sampingnya adalah pertanggungjawaban, sebaliknya tidak mungkin ada pertanggungjawaban, jika tidak ada perbuatan pidana. Kesalahan adalah unsur, bahkan syarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban yang berupa pengenaan pidana.
Pertanggungjawaban pidana.
Meskipun orang telah berbuat dan memenuhi unsur pidana belum berarti bahwa orang itu telah melakukan perbuatan pidana, karena berarti bahwa orang itu telah melakukan perbuatan pidana, karena masih diperlukan pula unsur kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban perbuatan untuk dapatnya orang di pidana:
1) adanya kemampuan bertanggung jawab
2) adanya sikap batin atas perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan
3) adanya keinsyafan atas pebuatannya
4) tidak ada alasan pemaaf
jadi dapat disimpulkan bahwa perbuatan terdiri atas unsur-unsur yang obyektif yang lahir, yang nampak dalam alam kenyataan.
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana (kesalahan) setelah ternyata bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana, didasarkan atas unsur-unsur yang subyektif, yang ada dalam batin terdakwa.
Dengan demikian bahwa pada pertamanya perbuatan pidana dilakukan itu terdiri atas unsur-unsur lahir dan setelah perbuatan pidana dilakukan. Pertanggungjawaban didasarkan atas unsur batinnya, setelah itu baru jelas perbuatan pidana dapat dibedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana (antara criminal act dan criminal responsibility).
Dalam praktek sering terjadi ada kelakuan yang nampak keluar secara obyektif, tidak bersifat melawan hukum (onrechtmatig). Onrecht matigheidnya itu berdasarkan atas keadaan batin seseorang (subjectieve onrecht matigheids berstanddeel).
Misalnya:
Perbuatan seorang dokter tertentu terhadap pasien wanita adalah perbuatan yang patut dan dibolehkan jika dilakukan untuk menentukan penyakit pasien. Tetapi jika dokter mempunyai maksud cabul (ontuchtige bejbedoelingen) maka perbuatan itu adalah melawan hukum (onrecht matig) dan dapat dipidana sebagai perbuatan cabul (ontucht).











a) BABIII
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut ada 3 cara dalam memutuskan perbuatan pidana:
1. Rumusan perbuatan pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam Buku II dan Buku III dengan maksud agar supaya diketahui dengan jelas perbuatan apa yang dilarang.
2. Apabila rumusan pasal perbuatan pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan.
3. Untuk menentukan perbuatan pidana digunakan selain menentukan dengan unsur-unsur perbuatan pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari perbuatan pidana tersebut.

Dalam KUHP perbuatan pidana dibagi atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak diatur dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah sebaliknya yaitu “wetsdeliktem” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Mengenai perbuatan-perbuatan (delik) telah diatur dalam KUHP beserta sanksi pidananya (pertanggungjawabannya) yang telah disebutkan dalam makalah yang telah lewat.






b)
More aboutPERBUATAN PIDANA

Posted by Unknown on Minggu, 24 Januari 2010

Yang harus diperhatikan dalam menginstal/menginstal ulang windows xp :
1.Siapkan Cd Instal Windows XP yang bootable (cd windows xp yang bisa booting/bootable).
Jika Cd windows xp tidak bootable maka anda terlebih dahulu harus menginstal windows 98, lalu baru menginstal windows xp biasa (seperti menginstal program)
Ingat dan catat serial numbernya.
2.Yang pasti computer anda ada cd roomnya, he..he…he….
3.Backup data/documents apa saja yang menurut anda penting yang ada didalam drive C ke drive lainnya misal ke drive D.
Karena semua data/program yang ada didalam drive C semuanya akan hilang, kecuali anda merepair/memperbaiki maka data/program yang ada di drive C tidak akan hilang
4.Siapkan Cd driver yang dibutuhkan oleh computer anda, seperti driver motherboat, sound, dan driver VGA card
5.Jika anda perokok siapkan rokok terlebih dahulu supaya tidak bosen, karena instalasi memakan waktu kurang lebih setengah jam (tergantung kecepatan computer anda)
6.Jika anda belum Sholat, lebih baik Sholat dulu karena biasanya kalau didepan computer orang akan lupa segalanya, dan jangan lupa berdo’a supaya proses instalasi ini berjalan seperti yang anda inginkan…..amin.

Proses Instalasi :
1.Masukan CD installer Windows Xp kedalam Cd room anda.
2.Restar computer.

Yang harus diperhatikan dalam menginstal/menginstal ulang windows xp :
1.Siapkan Cd Instal Windows XP yang bootable (cd windows xp yang bisa booting/bootable).
Jika Cd windows xp tidak bootable maka anda terlebih dahulu harus menginstal windows 98, lalu baru menginstal windows xp biasa (seperti menginstal program)
Ingat dan catat serial numbernya.
2.Yang pasti computer anda ada cd roomnya, he..he…he….
3.Backup data/documents apa saja yang menurut anda penting yang ada didalam drive C ke drive lainnya misal ke drive D.
Karena semua data/program yang ada didalam drive C semuanya akan hilang, kecuali anda merepair/memperbaiki maka data/program yang ada di drive C tidak akan hilang
4.Siapkan Cd driver yang dibutuhkan oleh computer anda, seperti driver motherboat, sound, dan driver VGA card
5.Jika anda perokok siapkan rokok terlebih dahulu supaya tidak bosen, karena instalasi memakan waktu kurang lebih setengah jam (tergantung kecepatan computer anda)
6.Jika anda belum Sholat, lebih baik Sholat dulu karena biasanya kalau didepan computer orang akan lupa segalanya, dan jangan lupa berdo’a supaya proses instalasi ini berjalan seperti yang anda inginkan…..amin.


Proses Instalasi :
1.Masukan CD installer Windows Xp kedalam Cd room anda.
2.Restar computer.
3.pilih booting awal ke Cd room
Untuk mengganti booting awal ke cd room anda bisa masuk ke bios dengan cara restart computer lalu tunggu tulisan Pres Del to enter setup, dan anda harus menekan tombol Del yang ada di keyboard. Otomatis tampilan layar monitor akan menuju bios biasanya warna biru, kemudian anda cari sub menu yang memanagement booting (biasanya sub menu advance bios feature-boot sequence).
Jika Motherboat anda keluaran terbaru untuk mengganti booting awal ke cd room anda cukup menekan tombol F8 atau F10 atau F11, tentunya setelah anda restart.
Jika anda masih belum mengerti tanyakan pada teman anda yang menurut anda mengetahui sedikit banyak tentang cara mengganti booting awal ke cd room.
Dan jika teman anda pun gak ada yang mengerti, sebaiknya tutup artikel ini, lalu anda cuci kaki dan gosok gigi kemudian tidur saja.
4.Setelah proses booting berhasil kemudian ada tulisan pres any key to boot from cd, maka anda harus menekan salah satu tombol di keyboard anda (misal tekan enter), setelah itu layar computer otomatis menjadi warna biru.
5.Anda akan berada pada layar window setup (tulisan window setup berada dipojok kiri atas), tunggu

6.kemudian muncul layar window xp proses setup (tulisan ini juga berada pada pojok kiri atas).dilayar ini anda akan dihadaokan pada pilihan seperti :
To setup window xp press ENTER
To repair winows xp installing using recovery……, press R
To quit setup……… press F3
Pada pilihan-pilihan tersebut anda pilih pilihan yang teratas yaitu anda tekan ENTER
7.Lalu anada dihadapkan pada layar window xp licenci agreement
Pada layar ini anda pilih/tekan F8
8.Kemudian anda dihadapkan lagi pada layar windowxp process setup, dilayar ini terdapat juga pilihan-pilihan seperti :
To repair, press R
To continue , press ESC (escape)
Pada pilihan-pilihan tersebut anda pilih pilihan yang kedua yaitu anda tekan ESC.
9.Kemudian anda dihadapkan lagi pada pilihan-pilihan, seperti :
To setup, press ENTER
To create……., Press C
To delete……., Press D
Pada pilihan-pilihan tersebut anda pilih pilihan yang teratas yaitu anda tekan ENTER
10.Kemudian anda juga akan dihadapkan kembali pada pilihan-pilihan, seperti :
To Continue, Press C
To Select Different….., Press ESC
Pada pilihan-pilihan tersebut anda pilih pilihan yang teratas yaitu anda tekan C
11.Lalu ada pilihan-pilihan lagi, seperti :
..........NTFS (Quick)
……..FAT (Quick)
……..NTFS
……..FAT
……...Confert to NTFS/FAT
……..Leave No Change.
Pada pilihan-pilihan tersebut terserah anda mau pilih yang mana tergantung anda apakah mau memakai system NTFS atau sytem FAT
Tetapi penulis biasanya memakai sytem FAT, karena FAT bisa dibaca pada System Windows 98.
Jadi pada pilihan tersebut diatas, pilih pilihan ke dua yaitu memakai System FAT. Tuliasan Quick berarti saat anda memformat Drive C tersebut Prosesnya Cepat.
12.Kemudian anda dahadapkan lagi pada pilihan-pilihan seperti :
To Format, Press F
To Select..., Press ESC
pada pilihan-pilihan tersebut anda pilih pilihan yang teratas yaitu anda tekan F
13.Lalu tekan ENTER, ENTER……
14.Anda tunggu Proses tersebut.
15.Nanti pada saat kurang lebih pada menit ke 33 akan muncul windows baru yaitu system meminta Serial Number, Waktu dan Area/Zona (pada saat memilih area/zona pilih GMT+7 yaitu area Jakarta)…..next
16.Tunggu Proses Instalasi……….
17.Pada Saat Komputer Restart anda jangan menekan apa-apa sampai proses instalasi tersebut selesai.
18.Setelah proses instalasi selesai, kemudian anda install Drivernya.
19.Selesai
20.Baca Alhamdulillah.
More about

ASAS TERRITORIAL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA (STUDI KASUS TINDAK PIDANA NARKOBA ASAL NIGERIA, HANSEN ANTHONY NWAOLISA DAN SAMUEL IWUCHUKWU OKOYE)

Posted by Unknown on Jumat, 08 Januari 2010

I. Pendahuluan

Dalam perundang-undangan hukum pidana terdapat batas-batas berlakunya hukum tersebut menurut tempat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan. Pembahasan mengenai batas berlakunya hukum pidana dari segi tempat tidak dapat dilepaskan dari pengkajian terhadap sejumlah asas yang berhubungan dengan masalah tersebut, yaitu:
1. Asas Territorialitas
2. Asas Nasionalis Aktif
3. Asas Nasionalis Pasif
4. Asas Universal
5. Asas Ekstra Territorialitas
Asas-asas ini berfungsi untuk memecahkan berbagai masalah yang muncul mengenai: sampai batas manakah sesungguhnya aturan hukum pidana dari suatu negara itu bisa diberlakukan? Munculnya problem dasar ini adalah karena menurut hukum ketatanegaraan, setiap negara merdeka itu memiliki apa yang disebut dengan kedaulatan baik bersifat politik maupun hukum. Sehingga konsekwensinya hukum pidana suatu negara tentu tidak dapat begitu saja bisa diberlakukan di negara lainnya karena bila hal itu terjadi akan menimbulkan perbenturan kedaulatan.
Pada kesempatan kali ini penulis akan menganalisis sebuah kasus tindak pidana narkoba yang dilakukan oleh Warga Nigeria, yaitu Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye. Kenapa pada akhirnya dua WNA tersebut diadili bahkan dieksekusi mati di Indonesia?

II. Pembahasan

A. Analisis Kasus

Samuel Iwuchukwu Okoye dan Hansen Anthony Nwaolisa adalah dua Warga Negara Asing berkebangsaan Nigeria yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Indonesia karena terbukti telah melakukan penyelundupan heroin di Indonesia. Samuel Iwuchukwu Okoye terbukti melakukan penyelundupan 3,8 kg heroin yang disembunyikan di dalam tasnya saat masuk ke Indonesia pada tanggal 9 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Tangerang memvonis hukuman mati pada 5 Juli 2001. Vonis itu diperkuat oleh putusan pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Sedangkan Hansen Anthony Nwaolisa terbukti menyelundupkan 3,2 kg heroin pada tanggal 29 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang kemudian memvonis mati pada 13 Agustus 2001 dan Vonis itu diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pada akhirnya dua terpidana mati tersebut telah dieksekusi mati, Kamis tengah malam di Nirbaya, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Kenapa Indonesia berhak mengadili kedua Warga Negara Asing tersebut? Atas dasar apakah penegakan hukum itu dilakukan?

B. Asas Teritorialitas

Asas teritorialitas mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Ketentuan asas territorialitas di Indonesia termaktub dalam KUHP Pasal 2, yang berbunyi:
“Aturan pidana dalam perundang-undangan, berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, baik itu Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia. Mengenai maksud dari wilayah Indonesia adalah mencakup:
1. Seluruh kepulauan maupun daratan bekas wilayah Hindia Belanda;
2. Seluruh perairan territorial Indonesia (laut dan sungai/danau) serta perairan menurut Zona Ekonomi Eklusif (hasil Konvensi Laut Internasional), yaitu wilayah perairan Indonesia ditambah 200 meter menjorok ke depan dari batas wilayah perairan semula;
3. Seluruh bangunan fisik kendaraan air atau pesawat berbendera Indonesia sekalipun sedang berlayar di luar negeri (lihat ketentuan UU No. 4 Tahun 1976)

C. Penerapan Asas Territorialitas Terhadap Kasus Tindak Pidana Narkoba Asal Nigeria, Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye.

Hukum Pidana Indonesia dapatlah diterapkan bagi pelaku tindak pidana narkoba yang dilakukan kedua Warga Negara Nigeria tersebut. Hal tersebut dibenarkan karena penerapan asas territorialitas di Indonesia. Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye telah melakukan tindak pidana dengan locus delicti -nya ialah wilayah Indonesia. Sesuai dengan asas territorialitas, maka bagi siapa saja baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia baginya.
Memang selain dianutnya asas territorialitas dalam hukum pidana, juga terdapat asas nasionalitas aktif, yaitu perundang-undangan hukum pidana yang berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negaranya, di mana saja, juga di luar wilayah negaranya. Apabila melihat dari asas tersebut, maka pada dasarnya Pengadilan Nigeria juga berhak untuk mengadili warga negaranya yang telah melakukan tindak pidana di Indonesia tersebut.
Dalam tataran aplikasi, penerapan secara mutlak terjadap ajaran kedaulatan negara memang sangat rentan terhadap timbulnya berbagai masalah seperti benturan kedaulatan antar negara yang dapat memicu ketegangan hubungan bilateral bahkan mungkin peperangan. Karena mengenai kasus tersebut, Indonesia berdalih sebagai negara berdaulat berhak dan memiliki kewenganan untuk menindak tegas siapapun yang berbuat tindak pidana di wilayah Indonesia, dan juga Nigeria dapat berdalih adanya konsep kedaulatan negara yang mengajarkan bahwa setiap negara berdaulat dapat mengharapkan kepada setiap warganya untuk tunduk patuh pada undang-undang negaranya di manapun ia berada.
Oleh karena itu untuk mengatasi problem tersebut, maka asas nasionalitas aktif hanya berlaku terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang mengancam kepentingan bangsa masing-masing. Jadi tidak semua kejahatan yang dilakukan oleh warga negara di wilayah negara lain dapat diberlakukan hukum negaranya sendiri.
Dengan penjelasan tersebut maka Indonesia sebagai negara berdaulat yang memiliki kewenangan untuk menindak tegas siapapun yang berbuat tindak pidana di Indonesia berhak untuk mengadili Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye.

III. Kesimpulan

Asas territorialitas mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Dan Indonesia juga menganut asas ini, hal ini termaktub dalam ketentuan pasal 2 KUHP.
Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye telah melakukan tindak pidana narkoba, yaitu melakukan penyelundupan 3,8 kg heroin dan 3,2 kg ke Indonesia. Locus delicti kasus tersebut berada di Indonesia, sesuai dengan asas territorialitas, bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia baik itu WNI maupun WNA maka berlaku baginya hukum pidana Indonesia, maka Indonesia berhak untuk mengadili kedua tersangka tersebut. Karena Indonesia adalah negara berdaulat yang berhak dan memiliki kewenangan untuk menindak tegas siapapun yang berbuat tindak pidana di wilayah Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (terjemahan Moeljatno), cet.22 Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003
- Kholiq, M. Abdul, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, 2002
- Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet.7, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002.
More aboutASAS TERRITORIAL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA (STUDI KASUS TINDAK PIDANA NARKOBA ASAL NIGERIA, HANSEN ANTHONY NWAOLISA DAN SAMUEL IWUCHUKWU OKOYE)